JALANAN
DAN AMBI
Sekitar pukul
sepuluh menjelang siang aku berdiri di depan mading terminal kota Jepara terlihat
sepi penumpang bus. Tak banyak orang yang datang dan pergi. Tukang becak banyak
mengantri menunggu penumpang datang, Namun tak satupun penumpan yang menerima
jasanya. Loket-loket yang sepi oleh penumpang membawaku hanyut dalam lamunan.
Sambil berdiri
di depan mading terminal aku menyaksikan lalu lalang orang. Memperhatikan
mereka satu persatu, ada yang membaca mading, menunggu penumpang datang dan
ngobrol dengan sesama penjaga loket. Atau
karena hari jum’at yang membuat suasana terminal sepi.
Matahari yang
semakin terik. Dan hembusan angin panas yang tak lama kemudian, aku melihat dua orang anak laki-laki
sedang menyusuri terminal dengan membuka
satu persatu tempat sampah. Panggil saja dia ambi, anak yang berusia sembilan
tahun itu rela bolos sekolah untuk memulung hanya demi mencari sesuap nasi.
.
Ambi, anak kedua
dari pasangan bapak supriato dan ibu yeti. Hanyalah satu dari anak bangsa yang
mendapatkan nasib yang kurang beruntung. Anak seorang nelayan yang belum tentu
penghasilannya dan ibu tukang bantu-bantu nyetrika pakaian tetangga.
Siapa yang mau
mengalami nasib sepertinya. Keadaanlah yang menuntutnya untuk menjadi pemulung.
Kenapa tidak? Untuk makan sehari-hari saja belum tentu bisa apalagi untuk biaya
sekolah.bayangkan saja pada musim penghujan seperti ini biasanya nelayan tidak
berani pergi melaut karena angin kencang dan ketinggian ombak hingga 2 meter.
Dan bila mengandalkan upah nyetrika ibu biasanya hanya untuk makan.
Dan memulung
merupakan jalan keluar baginya agar ia dapat melanjutkan sekolah. Uang hasil
memulung ia tabung, sebagian diberikan ke ibu dan sisanya untuk keperluan
sekolah.
Inilah hidup, yang kita pun
menyadari bahwa tak selamanya bisa memilih. Suka maupun duka, harus kita terima
dengan lapang dada. Ambi, dan juga ribuan anak-anak jalanan lainnya adalah
potret buram kehidupan negeri ini. Entah mereka jadi pemulung seperti Ambi,
entah sebagai penjual Koran, pengemis, preman, pengamen dan beragam yang muncul
akibat kebutuhan hidup yang mendesak dan mencekik leher.
Kawan, mereka ini bukan
siapa-siapa. Mereka adalah sebagian dari kita yang kesulitan mencari sesuap
nasi dengan cara normal sudah tak terkendalikan. Itulah mereka, pemulung yang
mengais-ngais buangan apa saja yang tak terpakai lagi dan dijual sekadar buat
beli makanan, pengamen di lampu-lampu merah, pengecer yang menjaja koran dan
majalah, bahkan sampai pengemis yang merangkap preman dan pencoleng.
JALANAN
DAN AMBI
Sekitar pukul
sepuluh menjelang siang aku berdiri di depan mading terminal kota Jepara terlihat
sepi penumpang bus. Tak banyak orang yang datang dan pergi. Tukang becak banyak
mengantri menunggu penumpang datang, Namun tak satupun penumpan yang menerima
jasanya. Loket-loket yang sepi oleh penumpang membawaku hanyut dalam lamunan.
Sambil berdiri
di depan mading terminal aku menyaksikan lalu lalang orang. Memperhatikan
mereka satu persatu, ada yang membaca mading, menunggu penumpang datang dan
ngobrol dengan sesama penjaga loket. Atau
karena hari jum’at yang membuat suasana terminal sepi.
Matahari yang
semakin terik. Dan hembusan angin panas yang tak lama kemudian, aku melihat dua orang anak laki-laki
sedang menyusuri terminal dengan membuka
satu persatu tempat sampah. Panggil saja dia ambi, anak yang berusia sembilan
tahun itu rela bolos sekolah untuk memulung hanya demi mencari sesuap nasi.
.
Ambi, anak kedua
dari pasangan bapak supriato dan ibu yeti. Hanyalah satu dari anak bangsa yang
mendapatkan nasib yang kurang beruntung. Anak seorang nelayan yang belum tentu
penghasilannya dan ibu tukang bantu-bantu nyetrika pakaian tetangga.
Siapa yang mau
mengalami nasib sepertinya. Keadaanlah yang menuntutnya untuk menjadi pemulung.
Kenapa tidak? Untuk makan sehari-hari saja belum tentu bisa apalagi untuk biaya
sekolah.bayangkan saja pada musim penghujan seperti ini biasanya nelayan tidak
berani pergi melaut karena angin kencang dan ketinggian ombak hingga 2 meter.
Dan bila mengandalkan upah nyetrika ibu biasanya hanya untuk makan.
Dan memulung
merupakan jalan keluar baginya agar ia dapat melanjutkan sekolah. Uang hasil
memulung ia tabung, sebagian diberikan ke ibu dan sisanya untuk keperluan
sekolah.
Inilah hidup, yang kita pun
menyadari bahwa tak selamanya bisa memilih. Suka maupun duka, harus kita terima
dengan lapang dada. Ambi, dan juga ribuan anak-anak jalanan lainnya adalah
potret buram kehidupan negeri ini. Entah mereka jadi pemulung seperti Ambi,
entah sebagai penjual Koran, pengemis, preman, pengamen dan beragam yang muncul
akibat kebutuhan hidup yang mendesak dan mencekik leher.
Kawan, mereka ini bukan
siapa-siapa. Mereka adalah sebagian dari kita yang kesulitan mencari sesuap
nasi dengan cara normal sudah tak terkendalikan. Itulah mereka, pemulung yang
mengais-ngais buangan apa saja yang tak terpakai lagi dan dijual sekadar buat
beli makanan, pengamen di lampu-lampu merah, pengecer yang menjaja koran dan
majalah, bahkan sampai pengemis yang merangkap preman dan pencoleng.
Nilis Zakiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar