Selamat Membaca

Cari Blog Ini

freedom of el-zaki

Selasa, 27 November 2012

JALANAN DAN AMBI


JALANAN DAN AMBI

Sekitar pukul sepuluh menjelang siang aku berdiri di depan mading terminal kota Jepara terlihat sepi penumpang bus. Tak banyak orang yang datang dan pergi. Tukang becak banyak mengantri menunggu penumpang datang, Namun tak satupun penumpan yang menerima jasanya. Loket-loket yang sepi oleh penumpang membawaku hanyut dalam lamunan.

Sambil berdiri di depan mading terminal aku menyaksikan lalu lalang orang. Memperhatikan mereka satu persatu, ada yang membaca mading, menunggu penumpang datang dan ngobrol dengan sesama penjaga loket.  Atau karena hari jum’at yang membuat suasana terminal sepi.

Matahari yang semakin terik. Dan hembusan angin panas yang  tak lama  kemudian, aku melihat dua orang anak laki-laki sedang menyusuri terminal  dengan membuka satu persatu tempat sampah. Panggil saja dia ambi, anak yang berusia sembilan tahun itu rela bolos sekolah untuk memulung hanya demi mencari sesuap nasi.
.
Ambi, anak kedua dari pasangan bapak supriato dan ibu yeti. Hanyalah satu dari anak bangsa yang mendapatkan nasib yang kurang beruntung. Anak seorang nelayan yang belum tentu penghasilannya dan ibu tukang bantu-bantu nyetrika pakaian tetangga.

Siapa yang mau mengalami nasib sepertinya. Keadaanlah yang menuntutnya untuk menjadi pemulung. Kenapa tidak? Untuk makan sehari-hari saja belum tentu bisa apalagi untuk biaya sekolah.bayangkan saja pada musim penghujan seperti ini biasanya nelayan tidak berani pergi melaut karena angin kencang dan ketinggian ombak hingga 2 meter. Dan bila mengandalkan upah nyetrika ibu biasanya hanya untuk makan.

Dan memulung merupakan jalan keluar baginya agar ia dapat melanjutkan sekolah. Uang hasil memulung ia tabung, sebagian diberikan ke ibu dan sisanya untuk keperluan sekolah.
Inilah hidup, yang kita pun menyadari bahwa tak selamanya bisa memilih. Suka maupun duka, harus kita terima dengan lapang dada. Ambi, dan juga ribuan anak-anak jalanan lainnya adalah potret buram kehidupan negeri ini. Entah mereka jadi pemulung seperti Ambi, entah sebagai penjual Koran, pengemis, preman, pengamen dan beragam yang muncul akibat kebutuhan hidup yang mendesak dan mencekik leher.
Kawan, mereka ini bukan siapa-siapa. Mereka adalah sebagian dari kita yang kesulitan mencari sesuap nasi dengan cara normal sudah tak terkendalikan. Itulah mereka, pemulung yang mengais-ngais buangan apa saja yang tak terpakai lagi dan dijual sekadar buat beli makanan, pengamen di lampu-lampu merah, pengecer yang menjaja koran dan majalah, bahkan sampai pengemis yang merangkap preman dan pencoleng.










JALANAN DAN AMBI

Sekitar pukul sepuluh menjelang siang aku berdiri di depan mading terminal kota Jepara terlihat sepi penumpang bus. Tak banyak orang yang datang dan pergi. Tukang becak banyak mengantri menunggu penumpang datang, Namun tak satupun penumpan yang menerima jasanya. Loket-loket yang sepi oleh penumpang membawaku hanyut dalam lamunan.

Sambil berdiri di depan mading terminal aku menyaksikan lalu lalang orang. Memperhatikan mereka satu persatu, ada yang membaca mading, menunggu penumpang datang dan ngobrol dengan sesama penjaga loket.  Atau karena hari jum’at yang membuat suasana terminal sepi.

Matahari yang semakin terik. Dan hembusan angin panas yang  tak lama  kemudian, aku melihat dua orang anak laki-laki sedang menyusuri terminal  dengan membuka satu persatu tempat sampah. Panggil saja dia ambi, anak yang berusia sembilan tahun itu rela bolos sekolah untuk memulung hanya demi mencari sesuap nasi.
.
Ambi, anak kedua dari pasangan bapak supriato dan ibu yeti. Hanyalah satu dari anak bangsa yang mendapatkan nasib yang kurang beruntung. Anak seorang nelayan yang belum tentu penghasilannya dan ibu tukang bantu-bantu nyetrika pakaian tetangga.

Siapa yang mau mengalami nasib sepertinya. Keadaanlah yang menuntutnya untuk menjadi pemulung. Kenapa tidak? Untuk makan sehari-hari saja belum tentu bisa apalagi untuk biaya sekolah.bayangkan saja pada musim penghujan seperti ini biasanya nelayan tidak berani pergi melaut karena angin kencang dan ketinggian ombak hingga 2 meter. Dan bila mengandalkan upah nyetrika ibu biasanya hanya untuk makan.

Dan memulung merupakan jalan keluar baginya agar ia dapat melanjutkan sekolah. Uang hasil memulung ia tabung, sebagian diberikan ke ibu dan sisanya untuk keperluan sekolah.
Inilah hidup, yang kita pun menyadari bahwa tak selamanya bisa memilih. Suka maupun duka, harus kita terima dengan lapang dada. Ambi, dan juga ribuan anak-anak jalanan lainnya adalah potret buram kehidupan negeri ini. Entah mereka jadi pemulung seperti Ambi, entah sebagai penjual Koran, pengemis, preman, pengamen dan beragam yang muncul akibat kebutuhan hidup yang mendesak dan mencekik leher.
Kawan, mereka ini bukan siapa-siapa. Mereka adalah sebagian dari kita yang kesulitan mencari sesuap nasi dengan cara normal sudah tak terkendalikan. Itulah mereka, pemulung yang mengais-ngais buangan apa saja yang tak terpakai lagi dan dijual sekadar buat beli makanan, pengamen di lampu-lampu merah, pengecer yang menjaja koran dan majalah, bahkan sampai pengemis yang merangkap preman dan pencoleng.
Nilis Zakiyah









Tidak ada komentar:

Posting Komentar