JALANAN SEBAGAI JALAN TERAKHIR
Teriknya
matahari pagi ini tidak menyusutkan langkahku berjalan menuju pasar Bulu. Jalan
yang ramai dipenuhi oleh kendaraan, seolah tak mau sepi karenanya. Setapak demi
setapak kakiku melangkah.
Beberapa
menit kemudian metaku tertuju pada sosok perempuan yang sedang berdiri di
sebuah bangunan mungil berwarna hijau dan berukuran 1x3 m. wajahnya kusut dan
pakaian yang lusuh membuatku terperanjak untuk menghampirinya.
Ya,
Miati namanya. Perempuan berusia 30th yang sudah 13th
menikah dengan Yudi kumbara. Mereka dikaruniahi empat orang anak, yaitu Sita (
13th), Bima (5th), Rio (3th), dan Riko (6 bulan). Dengan
keluarga yang tergolong besar mereka harus tinggal di rumah munggilnya emperen
pasar Bulu.
Sejak lahir Miati sudah hidup di jalan. Hiingga
sekarang dia juga harus mengikuti jejak sang ibu. Ekonomi selalu menjadi
kendala baginya. Suami yang hanya bekerja sebagai tukang ojek , yang belum
tentu penghasilannya. “ Seharian mangkal belum tentu mendapatkan uang Rp.
10.000, malah-malah kadang tidak mendapatkan uang sepeserpun”, kata Miati.
Demi
menyambung hidup, dia rela menjual asongan di Kalibanteng setiap malamnya dan
meminta-minta. “ Lumayan mbak untuk kebutuha sehari-hari, kalau mengandalkan
suami makan apa anak-anak saya “, tandasnya.
Meskipun
kadang dia harus lari-lari menghindari satpol PP yang setiap saat bisa
menangkapnya. Dia tidak putus semangat menjual asongan. Bukanlah alas an
baginya untuk lepas dari tanggungjawab sebagai orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar